Ads Top

Evolusi Perubahan Makanan Manusia Melahirkan Konsonan 'F' dan 'V'


Ungkapan "Anda adalah apa yang Anda makan" relevan pada bidang kesehatan atas apa yang kita konsumsi dan dampaknya pada diri kita.

Sebuah studi pada Maret 2019 silam di jurnal Science justru mengungkapkan kegiatan konsumsi manusia di masa lalu, memberi dampak secara fisik lalu membuat kita berkemampuan untuk menghasilkan suara untuk huruf 'f' dan 'v'.

Temuan ini berawal dari dugaan ahli bahasa Charles Hockett pada 1985 yang berpendapat, penggunaan gigi dan rahang sebagai alat dalam populasi pemburu-pengumpul membuat konsonan yang dihasilkan oleh bibir bawah dan gigi atas ('f' dan 'v') sulit diucapkan. Maka para peneliti di makalah berjudul "Human sound systems are shaped by post-Neolithic changes in bite configuration" mencoba mengungkap dugaan itu.

Baca Juga: Lupanare: Rahasia Prostitusi dan Rumah Bordil di Pompeii Kuno

Tim yang dipimpin Damián Blasi dari Department of Comparative Linguistics, University of Zurich, Swiss, menemukan bahwa rahang manusia modern telah berubah di masa lalu di dua periode, berdasarkan pengamatan konfigurasi dan keausan. Mereka mengamati manusia periode Paleolitik atau masa pemburu-pengumpul memiliki gigi atas dan bawah yang sejajar untuk membentuk garis datar.

Namun, ketika pertanian muncul setelah periode Neolitikum, gigi atas jadi menonjol daripada gigi bawah. Blasi dan tim berpendapat, itu disebabkan rahang mereka kurang bekerja lebih aktif dalam makanan hasil olahan yang lebih lunak seperti bubur dan keju.

Untuk membuktikannya, para peneliti membuat simulasi biomekanik dari gerakan pengucapan pada dua rahang secara virual. Cara ini dilakukan untuk menghitung usaha otot yang terlibat. Dan hasilnya, rahang yang atas dan bawah setara ternyata lebih banyak berusaha untuk menghasilkan konsonan labiodental ('f' dan 'v').

Usaha artikulasi ini penting bagi peneliti, sebab para ahli bahasa telah menetapkan bahwa itu dapat memengaruhi sebuah fonem—istilah linguistik untuk kata yang memiliki kesamaan tetapi memiliki konsonan berbeda untuk menghasilkan arti yang berbeda, seperti 'cakar' dan 'cagar'.

Para peneliti juga memeriksa perubahan suara dalam rumpun bahasa Indo-Eropa dari waktu ke waktu sebagai dukungant temuan ini. Di sini, mreka membuat pemetaan karakter stokastik yang menghitung probabilitas numerik suara yang ada dalam bahasa pada titik tertentu. 

Mereka menemukan, konsonan labiodental sangat tidak mungkin bisa dihasilkan di hampir semua cabang bahasa bila itu terjadi 6.000 hingga 4.000 tahun silam. Ketika makanan lunak dikenal setelah periode itu, suara-suara ini kemungkinan menonjol secara signifikan dalam penggunaannya.

"Kita tidak dapat menerima begitu saja bahwa bahasa lisan terdengar sama hari ini seperti yang mereka lakukan di masa lampau," urai Steven Moran ahli bahasa di University of Zurich, dikutip dari Scientific American.

"Artinya bahwa rangkaian bunyi ucapan yang kita gunakan belum tentu tetap stabil sejak kemunculan spesies kita, melainkan keragaman besar bunyi ucapan yang kita temukan saat ini adalah produk dari interaksi kompleks faktor-faktor yang melibatkan perubahan biologis dan evolusi budaya."

Karena mereka berspekulasi labiodental akan susah muncul pada populasi yang memiliki gigi yang sama, seperti manusia paleolitik yang memakan lebih keras, mereka menganalisis pula basis data konsonan dunia.

Hasilnya pun tepat mereka dapati ketika menganalisis masyarakat pemburu-pengumpul Greenland, Afrika belahan selatan, dan Australia. Ketiga populasi ini didokumentasikan memiliki konfigurasi gigitannya datar antara atas dan bawah. Konsonan labiodentals sedikit yang muncul dalam bahasa di populasi ini, jika pun ada, berkembang dari pengambilan bahasa lain, terang para peneliti.

Andrew Garett, ahli bahasa Indo-Eropa di University of California yang tidak terlibat dalam penelitian berpendapat, "makalah ini menghidupan kembali gagasan yang oleh ahli bahasa mungkin ditinggalkan karena ketakutan alami—berbahaya mendekati gagasan yang dapat ditafsirkan sebagai rasis—yang muncul setiap kali perbedaan anatomis antara populasi diusulkan untuk memainkan peran dalam aspek bahasa atau kognisi apa pun."

"Namun, hari ini, ada bukti jelas bahwa perbedaan anatomis, fisiologis, dan persepsi individu memang memainkan peran dalam perbedaan linguistik," tambahnya.

Namun, tidak semua ilmuwan yakin dengan temuan ini. Peneliti evolusi manusia di Tel Aviv University, Israel Hershkovitz berpendapat, sifat anatomis ini tidak mungkin dapat memengaruhi evolusi bahasa.

Sebab, keausan gigi terjadi secara bertahap dan tidak sepenuhnya memengaruhi dinamika rahang dewasa. Konfigurasi rahang bisa disebabkan banyak faktor di luar keausan gigi saja. Belum lagi, harapan hidup pemburu-pengumpul prasejarah relatif pendek untuk mengalami perubahan itu.

 

No comments:

Powered by Blogger.